Rabu, 24 Agustus 2011

Lebih Utama Khauf atau Raja ‘

11 ahlulkisa Jendela Qalbu, News
Allah Ketahuilah sesungguhnya hadits yang menerangkan keutamaan khauf (takut) dan raja (Harap) sangatlah banyak. Dan terkadang seseorang yang memperhatikan akan melihat keduanya lalu terliputi oleh keraguan manakah yang lebih utama dari keduanya. Ada yang mengatakan bahwa khauf itu lebih utama atau raja (yang lebih utama). Itu adalah pertanyaan yang tidak benar, seperti mereka yang mengatakan bahwa roti itu lebih utama dari air minum. Adapun jawaban yang benar adalah bahwa roti itu lebih utama untuk orang yang lapar, sedangkan air itu lebih utama untuk orang yang kehausan.

Bila keduanya bersama-sama, maka dilihat mana yang lebih bersangatan. Bila lapar yang dominan, maka roti lebih utama dan saat haus yang lebih kuat, maka air minumlah yang lebih utama. Dan saat keduanya seimbang, maka seimbang pula. Dan ini karena setiap apa yang dimaksud untuk sesuatu, maka jelaslah kelebihannya tidak di dirinya sendiri. Adapun khauf dan raja adalah obat yang dengan keduanya hati akan diobati, dan prioritas keduanya tergantung penyakit yang ada. Bila bersangatan di dalam hati penyakit merasa aman dari siksa Allah Ta’ala dan tertipunya diri dengan hal ini, maka khauf atau takut lebih utama. Dan saat yang menguasahi hati itu perasaan putus asa dari rahmat Allah, maka raja ‘atau harap lebih utama. Maka demikian pula saat yang bersangatan pada hamba adalah perbuatan maksiyat, maka khauf lebih utama. Dan bisa juga dikatakan secara mutlak bahwa takutlah yang lebih utama pada penta’wilan yang dikatakan bahwa roti itu lebih utama dari sakanjabiin karena dengan roti akan dapat dihilangkan rasa lapar sedangkan dengan sakanjabiin dihilangkan dengan penyakit kuning. Dan kelaparan lebih urgen dan lebih banyak terjadi dari penyakit kuning maka kebutuhan akan roti itu lebih banyak, jadi dialah yang lebih utama. Oleh karena itu dengan i’tibar ini dapat dikatakan bahwa khauf lebih utama karena maksiyat dan ketertipuan diri lebih banyak terjadi pada makhluk dan lebih menguasai. Dan jikalau dilihat dari tempat munculnya takut dan harap, maka haraplah yang lebih utama karena raja / harap itu mendapat curahan dari lautan rahmat sedang siraman takut itu berasal dari lautan amarah. Dan barang siapa yang memperhatikan sifat-sifat Allah Ta’ala yang menghendaki kasih sayang dan rahmat niscaya kasih sayang pada dirinya adalah lebih mengerasi. Dan tiadalah di balik kasih sayang itu tingkat (maqam).
Adapun takut maka tempat sandarannya adalah menoleh pada sifat-sifat yang mengharuskan kekerasan maka tidak dicampuri kasih sayang sebagaimana juga campurnya untuk harap. Kesimpulannya, apa yang diinginkan untuk yang lainnya seyogyanya dipakaikan kepadanya dengan istilah yang lebih patut, bukan dengan istilah lebih utama.
Maka kami katakan, bahwa untuk kebanyakan makhluk maka sifat khauf / takut adalah lebih patut untuk mereka dari raja ‘. Yang demikian ini karena banyaknya maksiyat. Adapun orang-orang yang taqwa yang meninggalkan perbuatan dosa baik lahir maupun bathinnya, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, maka yang lebih patut untuk mereka adalah seimbang antara khauf dan raja ‘. Dan karena inilah “Bila ditimbang khauf orang mukmin dan raja ‘-nya maka samalah ia. Hadits bahwa ‘Ali Karramallahu Wajhah berakta kepada sebagian putra beliau, “Wahai anakku, takutlah kepada Allah dengan takut ketika engkau datang kepada Allah dengan membawa kebaikan seluru penduduk bumi niscaya tidak akan diterima-Nya semua itu darimu. Dan berharaplah kepada Allah dengan melihat jika engkau datang kepada Allah dengan membawa kejahatan seluruh penduduk bumi maka Allah akan mengampunimua.
Dan karena inilah telah berkata Umar ra., “Jika seluruh manusia diseru untuk masuk neraka kecuali satu orang, maka aku berharap bahwa akulah satu orang itu, dan ketika diseru kepada seluruh manusia untuk memasuki surga kecuali satu orang, maka takutlah aku jika akulah seorang itu “. Dan inilah ibarat dari bersangatannya takut dan harap dan sedangnya serta kebanyakan dan kekerasan akan tetapi pada jalan berlawanan dan bersamaan. Maka seperti Umar RA seyogyalah bahwa bersamaan rasa takut dan harapnya.
Adapun orang yang bermaksiyat yang berperasangka bahwa ia adalah laki-laki yang dibebaskan dari orang-orang yang diperintahkan masuk neraka, maka yang demikian ini menunjukkan akan ketertipuannya.
Jika engkau mengatakan “seperti Umar, tidak seyogyanya khaufnya dan raja’nya seimbang / sama, akan tetapi seyogyanya lebih kuat raja ‘(harap) nya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada awal kitab raja’. Dan kekuatannya seyogyalah menurut kekuatan sebab-sebabnya sebagaimana dicontohkan pada tanam-tanaman dan bibit.
Dan telah dima’lumi bahwa orang yang menebarkan bibit yang sehat pada bumi yang bersih dan ia bersungguh – sungguh mengusahakannya dan memenuhi apa yang dibutuhkan pada ketentuan bercocok tanam, niscaya kuatlah pada hatinya harapan untuk mendapatkan hasilnya dan tidak sama antara takut dan harapanya . Maka kondisi seperti inilah seharusnya yang ada pada orang-orang yang bertaqwa “…..
Maka ketahuilah bahwa orang yang mengambil ilmu berdasarkan dari lafadz dan contoh-contoh, akan banyaklah tergelincirnya. Yang demikian itu Meskipun kami telah mengemukakan contoh, maka tidaklah itu serupa / sesuai pada setiap segi dengan apa yang sedang kami bicarakan, karena sebab mengerasnya raja ‘adalah ilmu yang diproduksi dari percobaan / pengalaman, karena ia tahu dengan pengalaman itu akan sehatnya bumi dan bersihnya , sehatnya bibit da sehatnya udara, dan sedikitnya halilintar yang merusakkan pada tempat-tempat itu dan lain-lain.
Sesungguhnya contoh permasalahan kita adalah bibit yang belum dicoba jenisnya yang ditaburkan di tempat yang asing / aneh, belum diketahui oleh petani dan belum dicobainya, dan tanah itu ada pada negeri yang tidak diketahui apakah banyak halilintar padanya atau tidak. Maka perumpamaan penanaman yang demikian ini meskipun ia habiskan tenaganya, dan didatangkannya setiap kemampuannya, maka tidak akan mengalahkan khaufnya pada harapannya.
Dan yang dimaksud bibit pada masalah kita ini adalah iman. Dan persyaratan sahnya iman itu sangat halus. Dan yang dimaksud tanah / buumi adalah hati. Dan yang tersembunyi dari kekejian dan kebersihannya itu adalah dari syirik yang tersembunyi, nifak dan ria ‘. Dan kesembunyian akhlak padanya itu kabur. Dan bahaya-bahayanya itu adalah nafsu syahwat dan keelokan dunia dan berpalingnya hati padanya di masa mendatang meskipun aman sekarang, dan yang demikian itu tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diketahui dengan pengalaman, karena terkadang datang dari sebab-sebab akan apa yang tidak disanggupi melawannya dan tidak pernah dicobakan / dialami seperti yang demikian.
Dan halilintar itu adalah huru hara hari kiyamat dan bergoncangnya i’tikad padanya. Dan yang demikian adalah dari apa yang tidak pernah dicobakan. Kemudian mengetam dan mengetahui ketika perpindahan dari kiyamat ke surga, yang demikian ini belum juga dicoba. Maka orang yang mengetahui hakikat dari hal-hal ini, jika ia lemah hati, penakut pada dirinya, maka sudah pasti akan lebih kuatlah khaufnya dari raja’-nya sebagaimana akan dikisahkan tentang kondisi orang-orang yang takut dair para sahabat dan tabi’in. Dan apabia ia kuat hati, tetap hati dan sempurna ma’rifah, niscaya sama takutnya dan harapnya. Adapun bahwa harapnya mengalahkan takutnya maka tidaklah demikian.
Dan adalah Umar RA bersangatan dalam menyelidiki hatinya, sehingga ia bertanya kepada Hudzaifah ra, apakah Hudzaifah mengetahui bekas-bekas kemunafikan, karena Hudzaifah itu telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW dengan mengetahui orang-orang yang munafik.
Maka siapakah orangnya yang mampu mengatakan sucinya hati seseorang dari kesembunyian nifak dan syirik yang tersembunyi? Dan jikalau seseorang meyakini kebersihan hatinya pada yang demikian, maka darimana ia dapat merasa aman akan taqdir tidak baik Allah Ta’ala dengan penyerupaan halnya pada demikian dan penyembunyian kekurangan dari yang demikian?. dan jikalau ia percaya yang demikian, maka dari mana ia dapat percaya dengan ketetapannya pada yang demikian sampai pada kesempurnaan khusnul khaatimah?
Dan telah bersabda RasuluLlah SAW, “Sesungguhnya seseorang mengerjakan amal ahli surga selama lima puluh tahun sehingga tidak tinggal antara dirinya dan surga kecuali hanya sejengkal – pada riwayat lain – selain sekedar waktu berhenti diantara dua kali perahan susu unta (untuk menunggu banyaknya susu). Maka mendahului pada orang itu suratan amal lalu dicapkan / distempelkan baginya dengan amal perbuatan penghuni neraka “.
Dan penilaian berhenti diantara dua kali perahan susu unta adalah tidak memungkinkan adanya amal perbuatan dengan anggota badan akan tetapi sekedar gurisan yang masuk di dalam hati ketika mati lalu menghendaki suu’ul khaatimah – maka bagaimana merasa aman dari yang demikian.
Jadi yang paling ujung dari tujuan orang mukmin adalah sedang takutnya dan harapnya. Dan kuatnya harap / raja ‘pada kebanyakan manusia itu disebabkan bersandar pada kepentingan diri sendiri dan sedikitnya ma’rifah. Dan oleh karena itulah Allah Ta’ala mengumpulkan keduanya di sifat-sifat orang yang dipuji-Nya. Maka telah berfirman Allah Ta’ala, “Yad’uuna Rabbahum khaufan wathama’an” yang artinya, “Mereka menyeru Tuhannya dengan penuh ketakutan dan penuh harap”.
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wayad’uunaNaa Ragaban wa rahaban” yang artinya, “Mereka berdoa kepada Kami dengan perasaan harap dan takut”. (Al-Anbiya 90).
Dan mana contoh Umar RA itu? maka manusia yang ada pada zaman ini, lebih baik untuk mereka semua jika lebih kuat perasaan takutnya dengan Persyaratan takut itu tidak mengeluarkan mereka kepada perasaan putus asa dan meninggalkan amal, dan merasa putus dari ampunan Allah Ta’ala sehingga menyebabkan kemalasan untuk mereka untuk mengerjakan amal dan membawa kepada terjerumusnya ke dalam perbuatan maksiyat, maka demikian ini adalah putus asa bukan takut.
Sesungguhnya takut adalah yang dapat menggerakkan ke amal, megeruhkan semua nafsu syahwat, dan mengejutkan hati dari kencenderungan kepada dunia dan membawanya ke arah dari negeri ketertipuan. Maka itulah takut yang terpuji, bukan bisikan hati yang tidak membekas pada pengekangan-nafsu syahwat – atau menggerakkan – kepada amal-, dan bukan pula pemutus asaan – dari rahmat Allah Ta’ala-yang menyebabkan putus asa.
Dan telah berkata Yahya bun Mu’adz RA, “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Ta’ala atas dasar khauf / takut semata, maka ia akan tenggelam ke lautan pikir. Dan barang siapa yang menyembah-Nya atas dasar raja ‘/ harap semata maka ia akan berjalan dalam padang pasir ketertipuan “. Dan barang siapa yang mneyembah-Nya dengan khauf dan raja ‘maka ia berjalan lurus di tempat beralasannay dzikir “.
Makhul Ad-Dimasyqi berkata, “Siapa yang menyembah Allah Ta’ala dengan khauf maka ia orang merdeka. Siapa yang menyembah Allah Ta’ala dengan raja ‘maka ia adalah pengharap. Barang siapa yang menyembah-Nya dengan mahabbah / cinta, maka ia adalah orang zindiq. dan barang siapa yang menyembah-Nya dengan khauf, raja ‘dan mahabbah, maka mereka itulah orang-orang muuhidiin-Orang yang bertauhid / mengesakan Allah Ta’ala “.
Jadi tidak bisa tidak dari mengumpulkan diantara hal-hal tersebut, dan lebih kuatnya khauf itu lebih patut, akan tetapi sebelum mendekati mati. Adapun pada kondisi mendekati kematian, maka yang lebih patut adalah kuatnya harap dan baik sangka Allah Ta’ala, karena takut sesungguhnya terjadi sebagaimana terjadinya cemeti untuk membangitkan amal perbuatan – dan telah terlewatlah waktu untuk beramal (karena akan mati). Dan orang yang emndekati kematian tidaklah mampu melakukan amal, kemudian ia tidak mampu pada sebab-sebab ketakutan. Maka yang demikian itu memutuskan gantungan hatinya dan membantu kepada kesengsaraan matinya. Adapun semangat harap – ketika mendekati mati-maka itu akan menguatkan hatinya dan harapnya akan mencintakannya kepada Tuhannya yang ia akan kembali kepada-Nya. Dan tidak seharusnya-lah meninggalkan dunia kecuali dalam kondisi mencintai Allah Ta’ala, agar dapat senang bertemu dengan Allah Ta’ala. Karena orang yang senang akan pertemuan dengan Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala-pun senang untuk bertemu dengannya. Dan harap ¬ itu berdampingan dengan mahabbah / cinta. Maka siapa yang mengharap kemurahan-Nya niscaya Allah Ta’ala ia cintai.
Dan tujuan ilmu serta amal adalah ma’rifah (mengenal) kepada Allah Ta’ala sehingga ma’rifah akan membuahkan kecintaan, karena sesungguhnya tempat kembali adalah ke-Nya, dan datang dengan kematian itu kepada-Nya. Dan siapa yang datang kepada yang dicintainya, niscaya besarnya kegembiraan menurut besarnya kecintaan. Dan barang siapa yang berpisah dari kecintaannya, niscaya besarlah cobaan dan azabnya.
Oleh karena itu ketika hati yang mengeras kepadanya, ketika mengalami mati dengan kecintaan pada keluarga, anak-anak dan harta benda, tempat tinggal, sawah ladang, teman dan sahabat, maka inilah orang yang seluruh kecintaannya adalah pada dunia. Maka dunialah yang menjadi surganya, karena surga ibarat suatu tempat untuk mengumpulkan semua kekasih. Maka matinya itu adalah keluar dari surga dan dinding antara dia dan apa yang dirinduinya.
Dan tidak tersembunyi kondisi orang yang terhalang antara dia dengan yang dicintainya selain Allah Ta’ala dan selain dzikir kepada-Nya, dan selain ma’rifah dan pikir kepada-Nya. Sedangkan dunia dan segala sangkut pautnya itu selalu menggangguinya dari yang dicintainya.
Oleh karena itu dunia sesungguhnya adalah penjara karena penjara adalah ibarat tempat yang menghalangi dari bersenang-senang dengan yang dicintai. Dengan demikian kematiannya itu pada hakekatnya adalah mendatangi ke yang dicintainya dan selamat dari penjara. Dan tidaklah tersembunyi kondisi orang yang terlepas dari penjara, dan dibiarkan ia bersama kekasihnya dengan tidak ada yang melarang dan mengeruhkan. Maka inilah permulaan apa yang ditemukan oleh setiap orang yang meninggalkan dunia, akan mendapat balasan setelah kematiannya itu dengan pahala dan siksa, terlebih lagi apa yang disediakan oleh Allah Ta’ala untuk hamba-Nya yang shaleh dari apa yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terguris dalam hati manusia. Terlebih lagi apa yang disediakan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba yang memilih mencintai dunia dari pada akhirat, dan ridha kepada dunia, dan hatinya tenang dengan kenikmatan dunia dari belenggu dan rantai-rantai pasung dan berbagaimacam kehinaan dan yang menakutkan. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala mati dalam kondisi sebagai Muslim dan dipertemukan dengan orang-orang shaleh. Dan tidak harapan kepada terkabulnya do’a ini selain dengan mengusahakan kasih sayang dari Allah Ta’ala. Dan tidak ada jalan ke hal ini selain mengeluarkan kecintaan kepada selain-Nya dari hati dan memutus segala hubungan terhadap segala sesuatu selain Allah Ta’ala-dari posisi, dan harta benda dan tempat tinggal.
Maka yang lebih utama kia berdoa dengan do’a yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW, “Allahummar zuqny HubbaKa wahubba man ahabba-Ka, wahubba man yuqarribuny ilaa hubbi-Ka. Waj’al hubba-Ka ahabba ilayya minal maa’il baaridi “yang artinya,” Yaa Allah berilah aku kecintaan kepada-Mu dan mencintai orang yang cinta kepada-Mu, dan mencintai orang yang mendekatkanku kepada-Mu, dan jadikanlah kecintaan kepada-Mu sebagai sesuatu yang lebih aku cintai dari air yang dingin “.
Dan yang dimaksud adalah kuatnya harap ketika akan mati itu lebih patut karena ia lebih menarik kepada mahabbah / kecintaan. Sedangkan kuatnya takut ketika belum dekat dengan kematian itu lebih patut karena lebih menarik kepada pembakaran nafsu syahwat dan lebih mencegah kecintaan terhadap dunia dari dalam hati. Karena itulah telah bersabda Rasulullah SAW, “Jangan sekali-kali mati kamu sekalian melainkan dalam kondisi berbaik sangka kepada Tuhannya”.
Dan telah bersabda Allah Ta’ala, “Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Maka berperasangkalah ke-Ku sekehendaknya “.
Ketika Sulaiman At-Taimy mendekati ajal, berkata kepada putranya, “Hai anakku, berbicaralah kepadaku akan hal-hal yang mudah / rukhsah dan ingatlah kepadaku tentang harap sampai aku dapat berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam kondisi khusnudhan ke-Nya.
Demikian pula etuka Ats-Tsuuri mendekati wafat dan bersangatan kegundahannya, lalu beluai mengumpulkan para ulama di sekitarnya untuk memberikan harapan kepadanya.
Dan telah berkata ahmad bin Hambal kepada putranya ketika wafat, “Sebutkan kepadaku hadits-hadits yang menerangkan harap dan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala / husnudhan.
Dan maksud dari semua ini adalah mencintakan dirinya kepada Allah Ta’ala. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman kepada Dawud AS, “perkasihkanlah Aku hamba-hamba Ku”
Nabi Dawud AS bertanya, “Dengan apa?”
Allah Ta’ala menjawab, “Dengan menyebutkan kebaikan, nikmat / rahmat-Ku kepada mereka.
Jadi, puncak kebahagiaan adalah jika seseorang mati dalam keadaan cinta kepada Allah Ta’ala, dan itu dapat diproduksi dengan ma’rifah dan mengeluarkan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dari dalam hati sehingga dunia dan seisinya baginya tak ubahnya seperti penjara yang menghalangi dari Yang Dicintai. Karena itulah sebagian orang saleh melihat Abu Sulaiman Ad-Daarani di dalam mimpi bahwa beliau terbang di udara. Lalu yang bermimpi itu bertanya kepada Abu Sulaiman lalu Abu Sulaiman menjawab, “Sekarang aku terlepas”.
Ketika pagi harinya ia (orang yang bermimpi) menanyakan kondisi Abu Sulaiman, maka diberitakan kepadanya bahwa Abu Sulaiman kemarin telah meninggal.
Ihya `Ulumuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar